sumber : https://pixabay.com/images/id-3021072/
Laut merupakan 70% bagian dari bumi dan menyediakan banyak kebutuhan manusia. Namun saat ini laut tengah mengalami banyak masalah seperti overfishing yang dapat membuat stok ikan menipis. Masalah lain antara lain polusi yang meningkat khususnya plastik yang banyak ditemukan di laut. Namun yang terburuk adalah pemanasan air laut, oksigen level menurun, dan pengasaman laut yang membuat kondisi hidup dilaut cukup sulit. Oleh karena itu perlu adanya suatu tindakan untuk setidaknya mengurangi perubahan iklim.
Blue carbon secara sederhana merupakan karbon yang diserap oleh ekosistem pesisir dan laut. Dalam aktivitas manusia tentu banyak hal yang menghasilkan karbon dioksida yang kemudian dilepaskan menuju atmosfer sehingga menyebabkan perubahan iklim. Secara alami, kawasan laut dan pesisir menyerap karbon yang ada di atmosphere ini. Rumput laut, mangrove, dan organisme pada ekosistem rawa sepanjang pesisir menyerap karbon yang kemudian disebut sebagai carbon sink. Proses penyerapan karbon di wilayah pesisir ini lebih tinggi jika dibandingkan proses yang dilakukan oleh hutan di daratan.
Gambaran besar dari blue carbon adalah konservasi habitat organisme pesisir. Jika organisme pesisir rusak maka akan banyak karbon yang diserap , kembali menuju atmosfer yang kemudian akan berkontribusi pada perubahan iklim. Oleh karena itu, menjaga dan melestarikan habitat organisme pesisir dapat menjadi solusi untuk mengurangi perubahan iklim. Hal ini dapat membuat kawasan pesisir menjadi lebih asri dan juga bermanfaat bagi banyak orang seperti rekreasi, proteksi dari badai, dan habitat bagi kawasan perikanan, Selain itu, hal yang dapat mengurangi perubahan iklim adalah dengan melakukan pembelian dan penjualan carbon offsets. Objek penjualannya adalah lahan di kawasan pesisir. Hal ini dapat memberikan insentif bagi proyek restorasi dan konservasi pada wilayah pesisir.
Vegetasi pesisir yakni padang lamun dan mangrove diperkirakan memberi kontribusi besar pada pengendapan karbon pada sedimen yakni sekitar 50% dari total 216 TgC per tahun. Secara global, diperkirakan bahwa lamun memiliki nilai cadangan karbon antara 4.2 sampai 8.4 PgC4 dan mangrove antara 4 - 20 PgC5 . Ekosistem pesisir dengan vegetasi laut juga memiliki produksi primer bersih (net primary production/NPP) yang cukup signifikan dibandingkan ekosistem lainnya. Jadi, ekosistem vegetasi laut merupakan stok karbon yang signifikan sekaligus memiliki peran penting pada siklus karbon global.
Hutan mangrove indonesia merupakan yang terluas di dunia yakni 3.2 juta hektar atau sekitar 22.4 % dari luas keseluruhan hutan mangrove di dunia sehingga dapat mengindikasikan bahwa Indonesia memiliki potensi yang besar dalam menyerap dan menyimpan karbon. Hasil penelitian data LIPI menunjukkan bahwa hutan mangrove di Indonesia rata-rata mampu menyerap 52.85 ton CO2/ha/tahun sementara secara keseluruhan hutan mangrove Indonesia memiliki potensi penyerapan karbon sebesar 170.18 Mt CO2/tahun. Pulau Kalimantan memiliki potensi serapan mangrove terbesar yakni 94,32 ton CO2/ha/tahun diikuti oleh Papua (57,99 ton CO2/ha/tahun) dan Sulawesi (53,95 ton CO2/ha/tahun). Sementara itu, mangrove di Pulau Sumatera dan Jawa yang telah banyak terdegradasi menunjukan potensi serapan karbon yang paling rendah, yaitu berturut-turut 37,07 dan 39,27 ton CO2/ha/tahun.
Ekosistem padang lamun mampu menyerap dan menyimpan baik di dalam vegetasi ataupun substrat tempat tumbuhnya. Nilai cadangan karbon yang terserap dapat bervariasi tergantung pada karakteristik, kondisi, dan luas ekosistem padang lamun. Komunitas lamun di Indonesia rata-rata menyimpan cadangan karbon sebesar 0.94 ton C/ha atau 141.98 kt C. Sementara laju serapan karbon sebesar 6.59 ton C/ha/tahun yang membuat padang lamun di Indonesia memiliki total serapan karbon sebesar 992.67 kt C/tahun (setara dengan 3.64 Mt CO2/tahun).
Nah, dari uraian diatas kita jadi tau tentang potensi dari komunitas mangrove dan lamun dalam penyerapan karbon dunia. Oleh karena itu diperlukan upaya dalam pelestarian sehingga kedua komunitas tersebut dapat terus eksis dan membantu mendinginkan bumi kembali.
Referensi
Gattuso J-P, Magnan AK, Bopp L, Cheung WWL, Duarte CM, Hinkel J, Mcleod E, Micheli F, Oschlies A, Williamson P, Billé R, Chalastani VI, Gates RD, Irisson J-O, Middelburg JJ, Pörtner H-O and Rau GH (2018) Ocean Solutions to Address Climate Change and Its Effects on Marine Ecosystems. Front. Mar. Sci. 5:337. doi: 10.3389/fmars.2018.00337
Hilmi N, Chami R, Sutherland MD, Hall-Spencer JM, Lebleu L, Benitez MB and Levin LA (2021) The Role of Blue Carbon in Climate Change Mitigation and Carbon Stock Conservation. Front. Clim. 3:710546. doi: 10.3389/fclim.2021.710546
Sulistiana, S. (2017). Potensi Mangrove sebagai Karbon Biru Indonesia bagi Pembangunan Berkelanjutan. Peran Matematika, Sains, Dan Teknologi Dalam Mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/SDGs, 281–303.
Bagus banget